PENGELOLAAN KAWASAN OPTIMALISASI
PEMANFATAN PEKARANGAN
BERBASIS MASYARAKAT (PKOPP-CM)
PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU
TENGAH
BADAN PELAKSANA PENYULUHAN
PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (BP4K) 2013
Oleh : Sailan,SP, M.Si
KATA PENGANTAR
Potensi
Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) kabupaten
Bengkulu Tengah melalui pemberdayaan kelompok wanita tani sangatlah besar, akan
tetapi upaya tersebut dapat terhambat dengan kurangnya agro input yang
dibutuhkan kelompok wanita tani dan pola pembinaan berbasis masyarakat lokal.
Program ataupun proyek pembinaan
kelompok wanita tani sudah banyak dilakukan di masyarakat, seperti UPGK, P4K,
dan yang sedang dilaksanakan sekarang ini adalah P2KP, MKRPL, dan PKDP. Walaupun demikian program-program tersebut
kurang memperhatikan masyarakat lokal.
Oleh karena itu, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan (BP4K) kabupaten Bengkulu Tengah merancang pola/model pembinaan dan
pemberdayaan kelompok wanita tani ”Pengelolaan Kawasan Optimalisasi Pemanfaatan
Pekarangan Berbasis Masyarakat (PKOPP-CM)”
Pola/model PKOPP-CM ini
diharapkan menjadi solusi yang lebih cocok untuk diimplementasikan di Kabupaten
Bengkulu Tengah, sehingga dapat mengatasi berbagai hambatan dalam upaya pemberdayaan
kelompok wanita tani selama ini dan dapat memenuhi kebutuhan gizi serta
menambah pendapatan masyarakat.
Saya menyadari dan sangat
memahami bahwa Kelompok Jabatan Fungsional (KJF) sangat mengerti dan memahami
tentang pembinaan dan pemberdayaan masyarakat.
Oleh karena itu, saya sampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Kelompok Jabatan Fungsional yang telah dapat membuat pola/model
pembinaan dan pemberdayaan kelompok wanita PKOPP-CM seperti yang saya harapkan.
Semoga
kesatupaduan konsep pembinaan dan pemberdayaan kelompok wanita tani PKOPP-CM ini dapat menjadi tolok ukur pembinaan dan
pemberdayaan kelompok wanita tani di kabupaten Bengkulu Tengah dan daerah
lainnya.
Karang
Tinggi, Pebruari 2013
Kepala
Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten
Bengkulu Tengah
Dra. YULIA FARIDAH
Nip. 19620709 198701 2 001
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan
1.3. Permasalahan
1.4. Manfaat
II.
KONSEP
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PEKARANGAN TERPADU BERBASIS MASYARAKAT
2.1. Konsep Community Based
Management (CBM) dan Cooperative Management (CM)
2.2. Pengelolaan Sumberdaya Pekarangan Terpadu
Berbasis Masyarakat
2.3. Pemberdayaan Masyarakat Lokal
III. PENGELOLAAN KAWASAN OPTIMALISASI
PEMANFAATAN PEKARANGAN BERBASIS MASYARAKAT (PKOPP-CM) KABUPATEN BENGKULU
TENGAH
3.1. Kondisi Kelompok Wanita Tani di Kabupaten
Bengkulu Tengah
3.2. Target Penerima Manfaat
3.3. Rencana Pengembangan Unit Usaha Penunjang
3.4. Rencana Kegiatan Tahun 2013
3.5. Kebutuhan Dana
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengelolaan sumberdaya berbasis
masyarakat (Community – Based Resource
Management) merupakan suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang
berpusat pada manusia. Pengambilan
keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah
berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah
tersebut. Sistem pengelolaan ini
melibatkan masyarakat lokal secara aktif sejak perencanaan, pelaksanaan, dan
pemanfaatan hasil-hasilnya. Pendekatan
ini memberikan kesempatan dan tanggungjawab kepada masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya yang
menjadi miliknya. Kebutuhan, tujuan, aspirasi, maupun keputusan-keputusan untuk
kesejahteraannya akan mereka rumuskan sendiri sesuai kebutuhannya.
Konsep pengelolaan sumberdaya
berbasis masyarakat dalam kenyataannya tidak dapat sepenuhnya berhasil.
Keterlibatan pemerintah dalam implementasinya masih diperlukan, karena tanpa
keterlibatan pemerintah sering terjadi banyak ketimpangan. Hal ini dapat dipahami, karena masyarakat
dalam beberapa hal masih banyak kekurangan
dari segi pendidikan, kesadaran akan pentingnya lingkungan, permodalan,
dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
pendekatan yang dianggap ideal untuk kodisi masyarakat saat ini adalah perpaduan
anatara peran pemerintah dan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi pemanfaatan sumberdaya, sehingga kepentingan keduanya dapat
terpenuhi. Model pendekatan yang mampu
mengakomodir berbagai kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya pekarangan
adalah pendekatan Cooperative Management
(Co-Management).
Pengelolaan sumberdaya
pekarangan terpadu (PSPT) adalah Pengelolaan Kawasan Optimalisasi Pemanfaatan
Pekarangan Berbasis Masyarakat (PKOPP-CM) dengan memanfaatkan sumberdaya alam
dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan lahan pekarangan dalam suatu
desa dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan lahan
pekarangan dan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya,
menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, selanjutnya merencanakan serta
mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang
optimal dan berkelanjutan.
Keberhasilan
pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas, yaitu memiliki fisik
yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa kualitas SDM
ditentukan oleh status gizi yang baik yang secara langsung ditentukan oleh
faktor konsumsi pangan dan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. Walaupun demikian, status gizi dipengaruhi pula oleh pola asuh,
ketersediaan pangan, sosial ekonomi, budaya, dan politik.
Penganekaragaman konsumsi pangan
akan memberikan dorongan dan insentif penyediaan pangan yang lebih beragam dan
aman untuk dikonsumsi, termasuk produk berbasis sumber daya lokal. Aktivitas produksi penganekaragaman konsumsi
pangan mendorong berbagai ragam sumber pangan sebagai sumber karbohidrat,
protein dan zat gizi mikro serta ternak dan ikan sebagai sumber protein. Di sisi lain, aktivitas produksi tersebut
akan menumbuhkan beragam usaha pengolahan pangan usaha rumah tangga kecil,
menengah, dan usaha besar. Selain dari
pada itu, aktivitas ekonomi pangan diharapkan dapat meminimalkan resiko usaha
pola monokultur, meredam gejolak harga, mengurangi gangguan biota dalam suatu
lingkungan, meningkatkan pendapatan pelaku utama dan pelaku usaha, dan
menunjang kelestarian sumber daya alam. Penganekaragaman
konsumsi pangan juga dapat mengurangi ketergantungan konsumen terhadap satu
jenis pangan. Dengan demikian, maka
penganekaragaman konsumsi pangan merupakan fondasi keberlanjutan ketahanan
pangan dan memiliki dimensi pembangunan yang sangat luas, baik dari aspek
sosial, ekonomi, politik, dan kelestarian lingkungan.
Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bengkulu Tengah pada saat
ini mempunyai 74 Kelompok Wanita tani yang secara langsung maupun tidak
langsung memberikan kontribusi positif terhadap penyediaan dan permintaan
berbagai bahan baku olahan pangan serta penyumbang aneka ragam pangan yang bergizi,
seimbang dan aman untuk mencukupi kebutuhan pangan di Kabupaten Bengkulu
Tengah.
Konsep pemberdayaan kelompok
wanita tani optimalisasi pemanfaatan pekarangan selama ini hanya dilakukan
melalui pendekatan ke setiap kelompok wanita tani saja. Oleh karena itu, pengembangan upaya
optimalisasi pemanfaatan pekarangan cenderung sangat lambat dan hanya
bermanfaat bagi anggota kelompok wanita tani, sedangkan masyarakat lain yang
tidak menjadi anggota kelompok wanita tani yang berada dalam satu kawasan desa
tersebut cenderung kurang mendapatkan manfaat.
Untuk
memberikan pemberdayaan dan manfaat secara keseluruhan kepada masyarakat dalam
suatu kawasan desa, maka Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bengkulu Tengah membuat suatu pola atau model
pemberdayaan kelompok wanita tani dengan ”Pengelolaan Kawasan Optimalisasi
Pemanfaatan Pekarangan Berbasis Masyarakat (PKOPP-CM)”. Pola atau model yang dibentuk tersebut
dilakukan dengan menumbuhkembangkan kelompok wanita tani 5 – 10 kelompok dalam
1 (satu) desa menjadi satu kesatuan kawasan pembinaan dan pemberdayaan
Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan terpadu berbasis msyarakat.
1.2.
Tujuan
1. Memberikan tambahan penguatan modal usaha
kelompok wanita tani dalam upaya Pengelolaan Kawasan Optimalisasi Pemanfaatan
Pekarangan Berbasis Masyarakat (PKOPP-CM) desa binaan Penyuluh Pertanian.
2. Mendorong aktivitas produksi dan ekonomi
anggota kelompok wanita tani Pengelolaan Kawasan Optimalisasi Pemanfaatan
Pekarangan Berbasis Masyarakat (PKOPP-CM).
3. Meningkatkan posisi tawar kelompok wanita
tani Pengelolaan Kawasan Optimalisasi
Pemanfaatan Pekarangan berbasis Masyarakat (PKOPP-CM).
4. Mempercepat terciptanya pola distribusi
pangan dan penganekaragaman konsumsi pangan
5. Memberikan
pola dan model kemitraan pemberdayaan Pengelolaan Kawasan Optimalisasi
Pemanfaatan Pekarangan Berbasis Msyarakat (PKOPP-CM) dengan pihak pengembang.
1.3. Permasalahan
Beberapa permasalahan yang
ditemui dalam pemberdayaan kelompok wanita tani dalam pemanfaatan pekarangan,
antara lain :
1.
Rendahnya modal usaha yang dimiliki kelompok wanita tani
dalam upaya Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan.
2.
Rendahnya aktivitas produksi dan ekonomi kelompok wanita
tani dalam Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan
3.
Masih rendahnya posisi tawar kelembagaan kelompok wanita
dalam Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan
4.
Distribusi pangan dan penganekaragaman konsumsi pangan
yang beragam, bergizi seimbang, dan aman berjalan lamban
1.4. Manfaat
1. Tersedianya modal usaha
yang dimiliki kelompok wanita tani dalam upaya Pengelolaan Kawasan Optimalisasi
Pemanfaatan Pekarangan (PKOPP-CM).
2. Tumbuh
kembangnya aktivitas produksi dan ekonomi masyarakat melalui kegiatan
Pengelolaan Kawasan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan (PKOPP-CM)
3.
Meningkatnya posisi tawar kelembagaan kelompok wanita tani dalam upaya
Pengelolaan Kawasan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan (PKOPP-CM)
4. Percepatan distribusi pangan dan
penganekaragaman konsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang, aman, dan halal
5. Mengembangkan pola dan model
kemitraan usaha kelembagaan tani dengan pihak pengembang
II.
KONSEP PENGELOLAAN SUMBERDAYA
PEKARANGAN TERPADU BERBASIS MASYARAKAT
2.1.
Konsep
Community Based Management (CBM) dan Cooperative Management (Co-Management/CM)
Pendekatan
pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan dengan pendekatan berbasis
masyarakat dan pendekatan berbasis pemerintah. Kedua pendekatan ini
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, oleh karena itu pendekatan
yang kurang tepat akan berakibat fatal terhadap kelestarian sumberdaya
pekarangan maupun terhadap pencapaian kesejahteraan masyarakat lokal.
Pengelolaan
berbasis masyarakat (Community – Based
Resource Management) merupakan suatu strategi untuk mencapai pembangunan
yang berpusat pada manusia. Pengambilan
keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah
berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah
tersebut. Sistem pengelolaan ini
melibatkan masyarakat lokal secara aktif sejak perencanaan, pelaksanaan, dan
pemanfaatan hasil-hasilnya. Pendekatan
ini memberikan kesempatan dan tanggungjawab kepada masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya yang
menjadi miliknya. Kebutuhan, tujuan, aspirasi, maupun keputusan-keputusan untuk
kesejahteraannya akan mereka rumuskan sendiri sesuai kebutuhannya.
Pengelolaan
berbasis masyarakat ini dapat dikatakan hampir tidak ada campur tangan
pemerintah. Pengelolaan berbasis
masyarakat merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya yang
meletakkan pengetahuan dan kesadaran ligkungan masyarakat lokal sebagai dasar
pengelolaannya (Nikijuluw dalam
purnomowati, 2001) . Masyarakat lokal
mempunyai akar budaya yang kuat dan terkait dengan kepercayaan (religion). Model pengelolaan berbasis masyarakat yang
telah berlangsung secara tradisional di kabupaten Bengkulu Tengah dapat
dijumpai dalam upaya konservasi tanah dengan meletakkan penggalan kayu secara
melintang pada lereng dan di bagian sebelah bawah tanaman pokok pada lahan
miring (tebing), pemanfaatan pekarangan dengan tanaman obat tradisional, dan
penggunaan sampah organik dan abu bekas pembakaran. Masyarakat dianggap paling mengetahui
lingkungan sekitarnya. Pengambilan
keputusan yang melibatkan masyarakat lokal akan merefleksikan aspirasinya,
sehingga akan diperoleh keputusan yang lebih baik.
Beberapa
persyaratan untuk mendayagunakan dan menghasilkan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan lingkugan hidup, antara lain adalah :
1.
Pemimpin
eksekutif yang terbuka
2.
Peratutan
yang akomodatif
3.
Masyarakat
yang sadar lingkungan
4.
Lembaga
swadaya yang tanggap
5.
Informasi
yang tepat
6.
dan
keterpaduan.
Konsep
pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat dalam kenyataannya tidak dapat
sepenuhnya berhasil. Keterlibatan pemerintah dalam implementasinya masih
diperlukan, karena tanpa keterlibatan pemerintah sering terjadi banyak
ketimpangan. Hal ini dapat dipahami,
karena masyarakat dalam beberapa hal masih banyak kekurangan dari segi pendidikan, kesadaran akan
pentingnya lingkungan, permodalan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pendekatan yang dianggap
ideal untuk kodisi masyarakat saat ini adalah perpaduan anatara peran
pemerintah dan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pemanfaatan sumberdaya, sehingga kepentingan keduanya dapat terpenuhi. Model pendekatan yang mampu mengakomodir
berbagai kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya pekarangan adalah pendekatan Cooperative Management (Co-Management).
Konsep
Co-Management merupakan jembatan
penghubung antara pemerintah dan masyarakat desa dalam pengelolaan sumberdaya
pekarangan., Hubungan kedua pihak,
antara pemerintah dan masyarakat dimungkinkan terjadinya interaksi. Pemerintah
berperan sebagai pengambil kebijakan dan masyarakat sebagai subjek pengelolaan
sumberdaya pekarangan, sehingga keduanya dapat menjalin komunikasi dan
kerjasama dalam proses perencanaan sampai evaluasi pemanfaatan pekarangan.
Hierarki
tertinggi pengelolaan sumberdaya pekarangan berbasis pemerintah adalah
memberikan informasi kepada masyarakat dan selanjutnya dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan hierarki tertinggi pengelolaan
sumberdaya pekarangan berbasis masyarakat adalah kontrol yang ketat dari masyarakat dan koordinasi antar daerah yang
dilakukan oleh masyarakat itu sendiri.
Antara kedua hierarki teratas tersebut terdapat tatanan kegiatan yang
menunjukkan tingkat kolaborasi antara pemerintah dan msyarakat. Melalui Co-Management
ini akan dicapai tatanan hubungan kerjasama, komunikasi, dan hubungan
kemitraan.
Tidak
ada pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil tanpa melibatkan masyarakat lokal
sebagai pengguna sumberdaya alam (Gawell (1984) dalam White, et al
(1994). Oleh karena itu, Co-Management hendaknya tidak dipandang
sebagai strategi tunggal dalam menyelesaikan permasalahan pengelolaan
sumberdaya, tetapi sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai untuk situasi dan kondisi tertentu (Pomeroy dan
Williams, 1994). Implentasi Co-Management memerlukan waktu, biaya dan upaya yang
cukup untuk mencapai keberhasilannya.
Kunci
sukses model Co-Management
adalah :
1.
Batas-batas
wilayah terdefinisi dengan jelas
2.
Kejelasan
keanggotaan
3.
Keterikatan
dalam kelompok
4.
Manfaat
harus lebih besar dari pada biaya
5.
Pengelolaan
yang sederhana
6.
Kerjasama
kepemimpinan dalam masyarakat
7.
Desentralisasi
dan pedelegasian wewenang
8.
dan
koordinasi antara pemerintah dan masyarakat.
Proses
dialektika pemberdayaan masyarakat lokal terjadi pada tingkat ideologis maupun
praktis, tidak hanya pada lingkup ekonomi saja, namun juga secara politis,
sehingga masyarakat memiliki posisi tawar yang baik. Dialektika di tingkat ideologis terjadi
antara konsep top-down dan bottom-up maupun growth strategy dan
people–centered strategy. Sedangkan
pada tataran dialektika praktis terjadi pada pertentangan ekonomi. Oleh karena itu, Chamber (1995) menyatakan
bahwa paradigma pembangunan lebih bersifat “people-centered,
empowering and sustainable”. Daya (empowering)
dalam tingkatan konsep merupakan kekuatan dari dalam (intrinsic) yang dapat diperkuat oleh unsur-unsur penguatan dari
luar (extrinsic) untuk memotong
lingkaran setan (gost cyrcle) yang
menghubungkan daya tersebut dengan kesejahteraan. Oleh karena itu, pemberdayaan
masyarakat lokal ditujukan untuk melepaskan belenggu kemiskinan dan
keterbelakangan serta memperkuat posisi lapisan masyarakat lokal dalam struktur
kekuasaan.
Pemberdayaan
masyarakat lokal memusatkan perhatian pada kenyataan bahwa penduduk lokal
mengalami kendala dan hambatan dalam proses dan gerak aktualisasi
eksistensinya. Konsep ini berusaha untuk
menciptakan kondisi yang memungkinkan penduduk lokal agar dapat melakukan tugas
aktualisasi eksistensi seluas-luasnya dan setinggi-tingginya dalam menciptakan
kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan, pendidikan, hukum dan keluarga. Untuk menciptakan dan mempercepat tercapainya
tujuan tersebut, peran pemerintah sangat dibutuhkan sebagai faktor pendorong
yang mempercepat keberhasilan proses pengelolaan sumberdaya pekarangan berbasis
msyarakat.
2.2.
Pengelolaan Sumberdaya Pekarangan Terpadu
Berbasis Masyarakat
Pekarangan
merupakan kawasan yang memiliki karakteristik yang unik dan kompleks. Kompleksitas ditunjukkan oleh keberadaan
berbagai pengguna dan berbagai entitas pengelola wilayah yang mempunyai
kepentingan dan cara pandang yang berbeda mengenai pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya lahan pekarangan.
Pengelolaan
sumberdaya pekarangan terpadu (PSPT) adalah Pengelolaan Kawasan Optimalisasi
Pemanfaatan Pekarangan Berbasis Masyarakat (PKOPP-CM) dengan memanfaatkan
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan lahan
pekarangan dalam suatu desa dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang
kawasan lahan pekarangan dan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terdapat
di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, selanjutnya
merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai
pembangunan yang optimal dan berkelanjutan.
Dasar
pengelolaan sumberdaya pekarangan terpadu adalah :
1.
Keberadaan
sumberdaya pekarangan yang besar dan beragam
2.
Peningkatan
pembangunan dan jumlah penduduk
3.
Konsentrasi
kegiatan ekonomi keluarga
4.
Pusat
pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan perubahan sikap masyarakat dalam
era globalisasi.
Secara lebih spesifik
perencanaan dan pengelolaan lahan pekarangan secara terpadu adalah pengkajian
sistematis tentang sumberdaya lahan pekarangan serta potensinya,
alternatif-alternatif pemanfaatannya serta kondisi ekonomi dan sosial yang
paling baik untuk memilih dan mengadopsi cara-cara pemanfaatan lahan pekarangan
guna memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligus mengamankan sumberdaya tersebut
untuk masa depan. Pendekatan pengelolaan
sumberdaya lahan pekarangan secara terpadu merupakan suatu pendekatan yang
melibatkan suatu ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan secara
terpadu. Keterpaduan tersebut meliputi
dimensi keilmuan, sektoral, dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara keilmuan diartikan sebagai
keterpaduan dalam sudut pandang pengelolaan lahan pekarangan yang dilakukan
atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdisciplinary
approaches) yang melibatkan bidang ilmu ekologi, ekonomi, teknik,
sosiologi, hukum, dan sebagainya yang relevan.
Keterpaduan secara sektoral
dipandang sebagai suatu keadaan tentang proses koordinasi tugas, wewenang dan
tanggungjawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat tertentu (horizontal integration) dan pada semua
tingkat pemerintahan, mulai dari desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, dan
pusat (vertical integration) dijalankan
secara terpadu. Sedangkan keterpaduan ekologis perlu mendapat perhatian dalam
pengelolaan lahan pekarangan secara terpadu.
Selama ini peningkatan peran
pemerintah dalam pengelolaan lahan pekarangan sangat tinggi, akan tetapi peran
tradisional kurang mendapat perhatian, karena dianggap pengalaman dan
pengetahuannya masih bersifat tradisional. Dalam kondisi tertentu para ibu
rumah tangga banyak yang berhasil dalam upaya pengelolaan lahan pekarangan,
mulai dari menyusun dan mengatur lahan
pekarangannya dengan baik. Dalam banyak
hal pemerintah kurang berhasil dalam mengatur dan menyusun sistem tertentu
untuk menggantikan atau melengkapi sistem tradisional. Nasionalisasi atau
swastanisasi sebagai solusi alternatif tidaklah mampu menyelesaikan masalah
pemanfaatan lahan pekarangan dan bahkan sebagian masyarakat merasa terbebani
dengan kegiatan pengelolaan lahan pekarangan tersebut.
Berdasarkan pengalaman yang
telah terjadi dengan proyek Usaha Peningkatan Gizi Keluarga (UPGK), Tanaman
Obat Keluarga (TOGA), dan Optimalisasi Pekarangan di masa lampau, maka perlu
dikembangkan suatu pendekatan yang lebih spesifik yang merupakan turunan dari
berbagai konsep yang telah diuraikan di atas (Community Base Resource management/CBM dan Co-Management/CM dengan PKOPP), yaitu pendekatan pengelolaan
kawasan optimalisasi pemanfaatan pekarangan berbasis masyarakat. PKOPP-CM
diartikan sebagai suatu straategi untuk mencapai pembangunan yang
berpusat pada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dalam suatu kawasan desa
dengan memperhatikan aspek kebijakan mengenai ekonomi dan ekologi. Aspek
kebijakan ini dalam pelaksanaannya terjadi pembagian tanggungjawab dan wewenang
antara pemerintah di semua tingkat dalam lingkup pemerintahan maupun sektoral
dengan pengguna sumberdaya alam (masyarakat) dalam pengelolaan lahan
pekarangan. Agar tidak terjadi
ketimpangan, maka pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama diberdayakan.
Selain masyarakat, pemerintah diharapkan secara proaktif menunjang program pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan lahan pekarangan.
Masyarakat dalam pengelolaan
kawasan optimalisasi pemanfaatan pekarangan berbasis masyarakat (PKOPP-CM)
adalah segenap komponen yang terlibat baik secara langsung ataupun tidak
langsung dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya lahan pekarangan,
diantaranya adalah masyarakat lokal, LSM, swasta, perguruan tinggi dan kalangan
peneliti. Dalam PKOPP-CM diharapkan
partisifasi dari masyarakat dimulai dari proses awal hingga akhir. Persyaratan pendekatan dalam pendekatan
pengelolaan berbasis masyarakat (CBM) harus dipenuhi dalam pendekatan PKOPP-CM,
yaitu ketergantungan masyarakat terhadap keberadaan sumberdaya lahan
pekarangan. Dalam penerapannya diperlukan fasilitator yang dapat
menggerakkan/memotivasi dan menumbuhkan partisifasi masyarakat dan dapat
memobilisasi sektor tarkait dalam pemerintahan untuk menciptakan keterpaduan.
Fasilitator adalah orang yang memahami prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya
pekarangan secara terpadu. Fasilitator dapat berasal dari stakeholders maupun dari luar. Dalam upaya menggerakkan partisifasi
masyarakat, fasilitator dapat dibantu oleh seorang motivator atau penggerak
yang berasal dari tokoh masyarakat ataupun Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)
setempat yang mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat.
Dari semua yang dijelaskan di
atas, kunci keberhasilan konsep pengelolaan sumberdaya lahan pekaranagan secara
terpadu adalah :
1. Batas wilayah terdefinisi; batas-batas fisik suatu kawasan harus
ditetapkan dan diketahui secara pasti oleh masyarakat. Peranan pemerintah adalah menentukan zonasi
dan melegalisasinya.
2. Status sosial masyarakat dalam penerapan
PKOPP-CM; kelompok masyarakat yang
terlibat hendaknya tinggal secara tetap di dekat wilayah pengelolaan
pekarangan. Dalam hal ini kebersamaan
masyarakat akan terlihat dalam hal etnik, agama, metode pemanfaatan, kebutuhan,
harapan, dan sebagainya. Segenap
pengguna yang berhak memanfaatkan sumberdaya lahan pekarangan di sebuah kawasan
dan berpartisifasi dalam pengelolaan daerah tersebut harus diketahui dan
didefinisikan dengan jelas.
3. Ketergantungan terhadap
sumberdaya lahan pekarangan; Dalam
pelaksanaan PKOPP-CM harus ada kejelasan
rasa ketergantungan dari masyarakat dengan adanya rasa memiliki dari peminatnya
terhadap sumberdaya lahan pekarangan
4. Memberikan manfaat; setiap
komponen masyarakat dalam kawasan
pengelolaan
lahan pekarangan mempunyai harapan bahwa manfaat yang diperoleh dari
partisifasi masyarakat dalam konsep PKOPP-CM akan lebih besar dibanding dengan
biaya yang dikeluarkan. komponen
indikatornya dapat berupa ratio pendapatan relatif dari masyarakat lokal dan stakeholders lainnya.
5.
Pengelolaan
sederhana dan mudah diimplemtasikan;
model atau pola PKOPP-CM dapat menggunakan suberdaya yang ada disekitar
lingkungan pedesaan dengan pemanfaatan sampah organik untuk pembuatan pupuk
organik, peraturan pengelolaan yang sederhana namun teritegrasi dan mudah
dilaksanakan. Proses monitoring dan
penegakan hukum dilakukan secara terpadu berbasis masyarakat sebagai pemeran utama.
6.
Legalitas
dari sistem pengelolaan; masyarakat
lokal yang terlibat dalam pengelolaan membutuhkan pengakuan dari pemerintah
daerah, dengan tujuan hak dan kewajban dapat terdefinisikan dengan jelas dan
secara hukum terlindungi. Dalam hal ini,
jika hukum adat telah ada dalam suatu wilayah, maka seharusnyalah pemerintah
memberikan legalitas sehingga keberadaan hukum ini memiliki kekuatan hukum yang
lebih kuat bagi para stakeholders. Legalitas ini akan memberikan kepercayaan dan
kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan sumberdaya pekarangan yang
lebih lestari.
7.
Kerjasama
pemimpin formal dan informal; di dalamnya terkandung pengertian adanya individu
ataupun kelompok inti yang bersedia melakukan upaya semaksimal mungkin, adanya
pemimpin yang dapat diterima oleh semua pihak dalam masyarakat dan adanya
program kemitraan antara segenap pengguna sumberdaya pekarangan dalam setiap
aktivitas.
8.
Desentralisasi
dan pendelegasian wewenang; pemerintah perlu memberikan desentralisasi proses
administrasi dan pendelegasian tanggungjawab pengelolaan kepada kelompok
masyarakat yang terlibat.
9.
Koordinasi,
sinkronisasi, dan interaksi antar stakeholders
.
10.
Keterpaduan
pengelolaan sumberdaya lahan pekarangan oleh stakeholders; keterpaduan visi dan misi dari pengelolaan yang
dilakukan.
2.3.
Pemberdayaan Penduduk Lokal
Pendekatan
Pemberdayaan dalam pembangunan penduduk lokal pada dasarnya adalah upaya
langsung pada akar permasalahan untuk meningkatkan kemampuan penduduk lokal itu
sendiri. Ketidakberdayaan merupakan sumber malapetaka dan dehumanisasi dapat
saja terjadi karena lingkungan di luar politik, bahkan dapat pula terjadi
sebagai akibat dari disposisi batin dan mental subjektif dari individu yang
bersangkutan. Absurditas untuk membuang
segala kekuasaan menjadi terasa karena gagasan tentang pemberdayaan dengan
apapun asumsinya adalah menerima adanya kekuasaan sebagai faktor dan membuat
yang tidak berkuasa menjadi memiliki kekuasaan, yaitu yang powerless diberi
power melalui empowerment.
Daya (power) dalam pemberdayaan (empowerment) adalah kekuatan dari dalam
yang diperkuat dengan unsur-unsur penguat yang diserap dari luar. Tujuan
pemberdayaan adalah untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan dan
keterbelakangan serta memperkuat lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan.
Keterlibatan
masyarakat dalam perencanaan pembangunan bukanlah sesuatu hal yang baru. Dalam
dunia pendidikan ada dua sistem, yaitu pedagogy dan androgogy (Malcolm, 1975). Pedagogy merupakan seni atau ilmu
mengajar yang berorientasi pada arahan guru (Teacher
Directed). Sedangkan androgogy berorientasi pada inisiatif
sendiri dalam mendiaknosis kebutuhan, tujuan sumber, strategi dan penilaian
hasil belajar (Self Directed Learning).
Pada saat ini yang banyak dilakukan dan dikembangkan di masyarakat adalah androgogy.
Asumsi
dasar dalam penggunaan androgogy ini adalah :
1.
Manusia
tumbuh dalam kapasitas menjadi, mengarahkan diri sendiri sebagai komponen pokok
dalam pendewasaan
2.
Pengalaman
merupakan sumber belajar yang selalu tumbuh dan digali bersama ahli.
3.
Kesiapan
belajar sebagai suatu syarat untuk menjalankan tugas dan mengatasi kesulitan
hidup
4.
Orang
belajar berpusat pada tugas atau problem, oleh karena itu pengalaman belajar
harus diorganisir sebagai pelaksanaan tugas atau pemecahan masalah
5.
Orang
belajar termotivasi dari rangsangan internal sebagai kebutuhan harga diri, rasa
ingin tahu, dan sebagainya.
Dengan
asumsi ini dapat dikatakan bahwa perlu untuk meletakkan manusia sebagai pusat
pembangunan (Man centered Development),
dalam artian bahwa pembangunan diperuntukkan bagi kepentingan manusia bukan
sebaliknya manusia untuk pembangunan.
Pembangunan
itu sendiri membutuhkan pasokan (Hozelitz
dalam Arief, 1995) sebagai
berikut :
1.
Modal
besar dari perbankan yang berwujud lembaga dan dapat menggerakkan tabungan
masyarakat serta dapat menyalurkannya kepada kegiatan yang produktif
2.
Pasokan
tenaga ahli dan tenaga terampil
Proses
dan praktek dalam pemberdayaan untuk menjadikan manusia sebagai dirinya sendiri
dengan menanamkan kesadaran, keterampilan dan kemampuan sehingga memperoleh
kekuatan riel yang dapat digunakan secara efektif melakukan pengubahan. Strategi yang dapat dilakukan dalam proses
pengubahan dalam pemberdayaan masyarakat adalah strategi fasilitasi,
reedukatif, persuasif, kekuasaan, dan kombinasi keempat strategi tersebut. Pemilih strategi harus disesuaikan dengan
karakteristik sasaran. Misi yang sama
dimungkinkan memerlukan strategi yang berbeda dalam pelaksanaannya atau bahkan
sebaliknya, tujuan yang berbeda membutuhkan pendekatan yang sama.
Konsep
pemberdayaan penduduk lokal dapat dilakukan melalui kegiatan ekonomi produktif
berbasis desa yang berkembang secara dinamis. Sistem kepemilikan sumberdaya
pekarangan perlu ditata sedemikian rupa sehingga dapat dialokasikan secara
optimal ke dalam berbagai kegiatan sosial-ekonomi masyarakat. Penyediaan sarana
produksi dan peningkatan keterampilan perlu dimbangi dengan tersedianya pasar,
diutamakan untuk penduduk lokal agar dapat melakukan sosial-ekonomi sesuai
dengan kondisi setempat.
Pendekatan
Co-Management merupakan salah satu alternatif dalam
pemberdayaan masyarakat desa dalam upaya pemanfaatan lahan pekarangan. Hakekat
dari Co-Management ini menghendaki
agar pemerintah bersama-sama dengan masyarakat lokal melakukan proses
pembangunan. Proses pembangunan memerlukan agen pembaharu (Change Agent) pembangunan yang memiliki peran sebagai katalisator,
pemberi pemecahan, pembantu proses pengubahan, penyebaran inovasi dan sebagai
penghubung dengan sumber-sumber yang diperlukan. Melalui agen pembaharu atau pembangunan ini
diharapkan dapat dikembangkan model pemberdayaan atau Self Propelling Growth.
Konsep
pemberdayaan penduduk lokal dan pengelolaan sumberdaya pekarangan secara
terpadu dapat dibangun melalui peningkatan kemampuan penduduk lokal
berpendapatan rendah untuk akses terhadap kegiatan ekonomi. Peningkatan kemampuan (daya) penduduk lokal
tersebut diarahkan pada sumber yang dapat menghasilkan daya (Power) yaitu kekayaan, status sosial,
pendidikan, penguasaan informasi, dan keterampilan.
Untuk
itu, perlu adanya perbaikan terhadap :
1.
Akses
terhadap sumberdaya
2.
Akses
terhadap teknologi melalui kegiatan yang menggunakan cara dan alat yang baik
dan efisien
3.
Akses
terhadap pasar
4.
dan
akses terhadap pendanaan
Model
pemberdayaan penduduk lokal dalam konteks
pembangunan berkelanjutan berpendirian tidak menjadikan penduduk lokal
sebagai objek berbagai proyek pembangunan. Penduduk lokal adalah subjek
pembangunan itu sendiri. Berbagai kebijakan yang berpihak pada kepentingan
rakyat tidak berarti menghambat upaya mempertahankan atau meningkatkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Diyakini bahwa kebijakan tersebut akan
berlangsung secara berkelanjutan dalam jangka panjang jika sumber utamanya
berasal dari penguatan ekonomi masyarakat. Model pemberdayaan masyarakat lokal
ini dipandang sebagai penguat, bukan sebagai penopang berdirinya suatu
usaha. Oleh karena itu, konsepsi
pemberdayaan masyarakat lokal merupakan proses dinamis yang dikembangkan untuk
mengatasi permasalahan baru, mengeksplorasi peluang-peluang baru dan lebih
memperkuat kemampuan atau keterampilan pengelolaan, kerjasama antar lembaga,
integrasi antar kepentingan pembangunan dan perlindungan.
III.
PENGELOLAAN KAWASAN OPTIMALISASI
PEMANFATAN PEKARANGAN BERBASIS MASYARAKAT (PKOPP-CM) KABUPATEN BENGKULU TENGAH
3.1. Kondisi kelompok Wanita Tani di Kabupaten
Bengkulu Tengah
Kelembagaan kelompok wanita tani
kurang tersentuh oleh program pemerintah.
Beberapa kelompok wanita tani yang pernah dibina oleh pemerintah, antara
lain adalah UPGK, Program Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil (P4K),
dan saat ini yang masih dibina adalah kelompok wanita Peningkatan
Penganekaragam konsumsi Pangan (P2KP) sebanyak 20 kelompok, Pengembangan
Kawasan Diversifikasi Pangan (PKDP) sebanyak 10 kelompok, dan binaan Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten
Bengkulu Tengah melalui Penyuluh Pertanian sebanyak 44 kelompok. Dengan demikian jumlah kelompok wanita tani
yang ada di kabupaten Bengkulu Tengah (2012) sebanyak 74 kelompok (Tabel 3.1.)
Tabel 3.1. Kelompok Wanita Tani
Kabupaten Bengkulu Tengah Tahun 2012
No
|
BP3K
|
BKP
|
BP4K
|
||
P2KP
|
|||||
OP
|
TT
|
PKDP
|
KWT
|
||
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
|
Pondok
Kelapa
Pondok
Kubang
Pematang
Tiga
Bang
Haji
Pagar
Jati
Merigi
Sakti
Anak
Dalam
Merigi
Kelindang
Karang
Tinggi
Jayakarta
|
2
2
0
0
2
0
0
2
0
2
|
2
2
0
0
2
0
0
2
0
2
|
5
5
0
0
0
0
0
0
0
0
|
14
1
3
2
3
4
4
2
3
8
|
|
Jumlah
|
10
|
10
|
10
|
44
|
Keterangan : -
BKP =
Badan Ketahanan Pangan
- OP = Optimalisasi Pekarangan
- TT = Tepung-tepungan
- PKDP = Pengembangan Kawasan Diversifikasi
Pangan
- KWT = Kelompok Wanita Tani
Tabel 3.1. menunjukkan bahwa
kelompok wanita tani yang dibina Badan Ketahanan Pangan (BKP) kabupaten
Bengkulu Tengah (2012) sebanyak 30 kelompok yang tersebar dalam 5
kecamatan/BP3K dan berada di 10 desa binaan penyuluh. Pembinaan kelompok ini menggunakan jasa
pejabat fungsional Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan BP4K/BP3K
kabupaten Bengkulu Tengah. Pembinaan kelompok wanita ini merupakan Program
Peningkatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP).
Mengacu
pada data Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K) se
kabupaten Bengkulu Tengah (2012) bahwa kelompok wanita tani se kabupaten
Bengkulu Tengah yang dibina penyuluh sebanyak 44 kelompok, oleh karena
itu, dipandang perlu untuk membina dan
memberdayakan kelompok wanita tani tersebut melalui pola/model Pengelolaan
Kawasan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Berbasis Masyarakat
(PKOPP-CM).
3.2. Target Penerima Manfaat
Target penerima manfaat
pembinaan dan pemberdayaan kelompok wanita tani PKOPP-CM dari Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) kabupaten Bengkulu Tengah adalah
seluruh kelompok wanita tani se kabupaten Bengkulu Tengah. Walaupun demikian dalam pola kemitraan yang
direncanakan pada tahun 2013 ini direncanakan untuk desa Pagar Jati kecamatan Pagar Jati, desa Bajak III
kecamatan Merigi Sakti, Padang Burnai kecamatan Bang Haji, dan desa Jambu kecamatan Merigi Kelindang.
3.3. Rencana Pengembangan Unit Usaha Penunjang
Untuk
menunjang usaha kelompok wanita tani PKOPP-CM menuju skala ekonomis, maka akan
dilakukan beberapa unit usaha penunjang, diantaranya adalah :
1.
Pembuatan Kebun Bibit Desa (KBD) kelompok wanita tani
PKOPP-CM
2.
Pembuatan kebun Demplot untuk kegiatan Sekolah Lapang
(SL) di setiap pekarangan rumah
3.
Pembuatan kios / warung desa / kantin tempat penjualan
produk dan olahan kelompok wanita tani PKOPP-CM
3. Jaringan
rantai tata niaga antar kelompok wanita tani dan masyarakat
4.
Pembuatan kios penampungan produk dan olahan kelompok wanita tani
PKOPP-CM di Kabupaten Bengkulu Tengah
3.4.
Rencana Kegiatan Tahun 2013
Berdasarkan permasalahan dan
tujuan yang hendak dicapai tersebut di atas, maka kegiatan yang
diusulkan adalah :
1.
Program Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)/Pola Kemitraan
Penambahan modal usaha kelompok wanita tani PKOPP-CM sebanyak 3 desa binaan
dengan masing-masing desa terdiri atas 5 kelompok (Pagar Jati, Bajak III dan
desa Kelindang) dengan jumlah kelompok
sebanyak 15 kelompok
PKOPP-CM
2.
Program Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)/Pola Kemitraan
Penambahan modal usaha kelompok wanita tani PKOPP-CM untuk pengolahan hasil
sebanyak 4 desa binaan dengan jumlah
kelompok sebanyak 20 kelompok PKOPP-CM.
3.5.
Kebutuhan Dana
Kebutuhan dana yang diperlukan
dalam upaya pemberdayaan kelompok wanita tani PKOPP-CM ini adalah sebesar Rp.
379.600.000.- (Tiga Ratus Enam Puluh Sembilan Juta Enam Ratus Ribu Rupiah)
dengan rincian (Tabel 3.5.)
Dana
tersebut akan digunakan untuk kebutuhan kelompok wanita tani Pengelolaan
Kawasan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan Berbsis Masyarakat (PKOPP-CM) :
1. Kelompok
wanita tani PKOPP-CM on farm
- Pembelian sarana produksi
pertanian anggota kelompok
- Pengolahan tanah
- Perlindungan tanaman
2. Kelompok
Wanita tani PKOPP-CM off farm
- Pembelian peralatan untuk
hasil olahan produk pertanian sampai pengemasan
- Pembelian bahan-bahan untuk
hasil olahan produk pertanian
NO
|
URAIAN
|
Harga Satuan (Rp)
|
Jumlah
|
Satuan
|
Jumlah (Rp)
|
I.
|
Survey Calon Penerima Calon
Lokasi (CPCL)
|
150.000
|
12
|
HOK
|
1.800.000
|
II.
|
Sosialisasi Program PKOPP-CM
BP4K Bengkulu Tengah
|
5.000.000
|
4
|
Paket
|
20.000.000
|
III.
|
Pendampingan
a.Penanggung jawab
Kegiatan
1 Org
b.Operasional Pendampingan
- PP Pendamping Desa 4
Org
- Koordinator PP
Pendamping Kecamatan 4
Org
- Koord. PP Kabupaten 1
Org
c. Pelatihan dan Pelaporan
d. Penguatan Kelembagaan
e. ATK
|
750.000
1.200.000
1.200.000
500.000
5.000.000
2.000.000
2.500.000
|
12
12
12
12
4
20
4
|
bulan
Bulan
Bulan
Bulan
Paket
Paket
Paket
|
9.000.000
14.400.000
14.400.000
6.000.000
20.000.000
40.000.000
10.000.000
|
IV.
|
Instalasi Kebun Bibit Desa
|
5.000.000
|
12
|
Unit
|
60.000.000
|
V.
|
Sarana Produksi Pertanian
a.
Benih
Tanaman
b.
Pupuk
Organik
c.
Polybag
besar
d.
Polybag
Kecil
e.
Terpal
Plastik
f.
Bibit
ikan
g.
Pellet
|
2.500.000
50.000
20.000
20.000
500.000
500
350.000
|
20
600
400
100
40
20.000
40
|
Paket
Karung
Kg
Kg
Glg
Ekor
Sak
|
50.000.000
30.000.000
8.000.000
2.000.000
20.000.000
10.000.000
14.000.000
|
VI
|
- Peralatan
hasil olahan dan pengemasan
-
Bahan-bahan produk pertanian
|
10.000.000
2.500.000
|
4
4
|
Paket
Paket
|
40.000.000
10.000.000
|
|
Jumlah
|
|
|
|
379.600.000
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar